Aku baru saja memarkir mobil yang baru saja kubeli di dalam garasi rumahku. Saat itulah aku melihat anak laki-lakiku yang berusia empat tahun, datang dan membaret mobil baruku dengan batu yang dibawanya. Aku sangat marah melihat mobil yang kubeli dengan susah payah, hasil jerih payahku bekerja bertahun-tahun dirusak oleh anakku.
Tanpa pikir panjang, aku mengambil batu yang digunakan anakku untuk membaret mobil baruku. Anakku harus dihukum! Aku memukulkan batu-batu itu ke tangan anakku sekuat tenaga. Aku tidak sadar apa yang sedang kulakukan, aku sangat marah, aku seolah tidak mendengar teriakan kesakitan anakku. Ketika aku sadar, tangan anakku sudah hancur. Aku segera membawanya ke rumah sakit dengan perasaan menyesal.
Sang dokter memutuskan untuk mengamputasi jari-jari anakku, karena jari-jari itu sudah sedemikian hancur terhantam batu yang kupukulkan padanya.
Aku tidak akan pernah bisa melupakan kata-kata anakku saat itu, “Papa, kapan jari-jariku ini akan tumbuh kembali?”
Aku begitu terluka mendengarnya. Aku begitu menyesal. Namun, ini semua sudah terlambat. Tentu saja jari-jari anakku takkan pernah tumbuh kembali.
Penyesalanku bertambah dalam berpuluh kali lipat ketika aku melihat baretan-baretan yang dibuat anakku di mobil baruku, yang membentuk sebuah tulisan “AKU SAYANG AYAH”.
Sumber: sebuah ilustrasi yang didapatkan dari milis, diceritakan kembali oleh Charles Christian.
Moral:
Jika engkau menahan diri sesaat saja dalam kemarahanmu yang luar biasa, engkau luput seratus hari dari seribu penyesalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar